Kamis, 11 Agustus 2011

Belajar Dari Si Penjual Telur

Matahari beranjak semakin tinggi ketika aku menatap langit yang biru cerah di suatu siang di teras rumah. Aku masih belum bisa memutuskan apakah akan pergi sekarang atau nanti sore saja. Toh tak cepat-cepat pergi tak apa-apa. Bukan sesuatu yang mendesak ini, cuma mau ngembaliin film pinjeman. Lama kumenatap langit biru itu. Huwee, langit biru, udah kaya program pemerintah aja… apa kabar tu program ya??? Heheh… sok perhatian.

Seperti biasa, kebiasaan pikiran yang melanglang buana mubazir karena tak tentu arah. Sepersekian detik aku tersadar. Tujuan utamaku adalah untuk memutuskan pergi atau tidaknya siang ini ke rental film. Yaelah… gitu aja lama banget ya! Tuh, lagi-lagi si otak berflash back memutar memori tak penting dalam hidupku.

… Deng Dong Deng Dong …

AAAARRRRGGGHHH!!!! S E T O O O P !!!

Udah! Mengingat nasihat untuk mempergunakan waktu dengan sebaik-baiknya, aku dengan setengah hati melangkahkan kaki keluar rumah. Hik, panaaas… tapi, hwayooo semangat!

Begitu keluar regol rumah, aku bertemu nenek penjual telur yang setiap pagi biasa keliling komplek menjual dagangan telur ayam, bebek, sayur-sayuran hasil ternak dan tanamnya. Beliau duduk di badukan semen di bawah pohon mangga bantet di depan rumahku. Tampak jelas beliau sedang beristirahat setelah seharian berusaha menjual dagangannya. Bakul bambu dan tas anyaman tergeletak di depan kaki si nenek.

Aku melewatinya dan berhenti di dekatnya sambil menunggu angkutan yang akan membawaku ke depan komplek. “Lagi istirahat, bu?” sapaku coba membuka percakapan, “Panas ya?!”

Belum sempat si nenek menjawab, tiba-tiba tas anyaman (yang tertutup) itu bergerak mengguling dan berbunyi. Aku mundur selangkah karena kaget. Namun si nenek malah tersenyum dan berkata, “Ayam nih, neng. Saya bawa dari tadi pagi mau dijual, tapi gak ada yang mao. Kegedean sih ayamnya. Emang gede banget sih ni ayam… ya udah deh dibawa pulang lagi…”

Aku tak berkata lagi. Terpesonanya sama ayam di dalam tas anyaman itu. Waduh, kasian juga tu ayam panas-panasan, sempit-sempitan di dalem tas, heheheh… lho? hus!

Si nenek kemudian mengeluarkan uang recehan dari sakunya, “Alhamdulillah, lumayan lah dapet 27 rebu. “Aku menoleh dan melihatnya tersenyum sehabis menghitung uangnya, aku pun tersenyum. Kulihat beberapa lembaran kusut di tangannya seribuan, lima ribuan, udah. Sejumlah-mungkin-27 ribu seperti si nenek bilang tadi.

“Itu hasil jualan hari ini, Bu?”

“Iya neng, Alhamdulillah lah, lagian tadi juga cuma bawa dagangannya dikit.”


“Hooo…” kepalaku terangguk-angguk.


“Nah, saya pulang dulu ya, neng, udah siang nih.”


“Oh iya deh, Bu. Eh, emang rumahnya di mana, Bu?”


“Parung Koret, tuh di belakang, yah lumayanlah,” beliau menjawab nama suatu perkampungan yang terletak di belakang perumahanku dan mulai melangkah.
“Eh, jalan kaki, Bu?!” timpalku agak kaget, “lumayan jauh kan, panas lagi. Mana ibu bawa ayam gede, sama bakul…”


“Lha??” mukanya malah heran melihatku, “Pan kalo naik angkot duitnya abis lagi dong, Neng. Mana yang buat makan?” Beliau tersenyum, membetulkan letak topi bambunya yang bundar, memutar badannya, dan melangkahkan kakinya.


HEEEH???!!!

Iya juga ya. Iya…

Aku nyengir salah tingkah sendiri menanggapi kata-kata si nenek tadi. Bukannya aku gak pernah dalam keadaan sulit kaya tadi. Cuma yang barusan luput dari pikiranku. “Hati-hati, Bu!!” teriakku.

Sampai di rental, aku didenda 16 ribu karena telat ngembaliin. Enteng aja ku keluarkan uang 20ribuan dari dompet dan melangkah keluar rental. Selesai urusan, terus beli es krim, pulang, tiduran di ruang tengah sambil nonton TV di depan air purifier. Hmmm… Leha-leha.

Halah, angkotnya lama lagi! Misuh-misuh kepanasan, aku menebar pandangan ke jalan raya Karang Tengah yang berdebu. Ih! Pulang… Pulang… Nikmat banget di rumah. Sampai ketika pandanganku menatap lurus ke gerbang masuk perumahan Metro Permata. Terus lurus ke dalamnya… Menembus ke belakangnya… Parung Koret. Masih lumayan jauh… Hohoho… mambayangkan harus berjalan kaki seperti si nenek tadi dari mulai berangkat di pagi hari, muter-muter jualin dagangannya sampe dapet 27 ribu, terus pulang masih dengan jalan kaki menenteng sisa dagangan ditemani matahari di atasnya…
Anak muda yang payah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar