Kamis, 07 Maret 2013

Penamaan Pada Perjanjian-Perjanjian Internasional

Mengingat keragaman penamaan dalam perjanjian, khususnya perjanjian internasional, perlu dijelaskan pengertian penamaan yang digunakan secara umum dalam praktek, antara lain :
 
- Pakta : sebenarnya istilah ini memiliki makna yang sama dengan Traktat (Treaty), hanya saja di Indonesia pengertian ini sering dikaitkan dengan perjanjian-perjanjian di bidang pertahanan, seperti Pakta Pertahanan NATO (North Atlantic Treaty Organization) atau SEATO (South East Asia Treaty Organization);
 
- Statuta : istilah ini digunakan oleh beberapa organisasi internasional sebagai aturan dasarnya seperti Statuta Mahkamah Internasional, Badan Atom, dan Energi Internasional dan Statuta Pusat IPTEK Negara-negara Gerakan Non-Blok dan Negara Berkembang.
 
Kedua istilah perjanjian tersebut, termasuk Charter (Piagam) jarang bahkan hampir tidak digunakan dalam praktek pembuatan perjanjian internasional di Indonesia. Satu-satunya penggunaan penamaan Piagam dan/atau Statuta di Indonesia adalah Piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional sebagai konsekuensi keanggotaan Pemerintah Indonesia kepada kedua lembaga Internasional tersebut.
 
- Traktat : biasa digunakan pada perjanjian-perjanjian, baik multilateral maupun bilateral yang cukup penting substansinya.  Pada perjanjian multilateral, traktat selalu dikaitkan dengan pembentukan pakta pertahanan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sedangkan pada perjanjian bilateral, penggunaan istilah Traktat besar sering dijumpai pada perjanjian-perjanjian yang cukup penting seperti diantaranya traktat kerjasama di bidang pembagian wilayah penambangan, ekstradisi serta perjanjian pertahanan dan keamanan. Perjanjian yang menggunakan penamaan traktat seperti perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan Australia tentang Celah Timor (Timor Gap); 

- Konvensi : digunakan sebagai aturan dasar atau guidance dari organisasi-organisasi international di bawah PBB seperti WHO, FAO, UNEP, ICAO, ILO, dan lain sebagainya.
 
- Konstitusi : memuat ketentuan-ketentuan organik suatu organisasi internasional. Penamaan ini lebih banyak digunakan pada organisasi internasional yang bergerak di bidang pos dan telekomunikasi seperti Konstitusi Perhimpunan Pos Sedunia (Universal Postal Union), Asia-Pacific Postal Union, Asia-Pacific Telecommunity, Asian Oceanic Postal, dan Perhimpunan Telekomunikasi International (International Telecommunication Union).
 
- Persetujuan : istilah yang paling lazim digunakan oleh Pemerintah Indonesia dalam pembuatan perjanjian bilateral yang bersifat teknis, bahkan istilah ini, mengingat beragamnya penamaan, dibakukan di dalam UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional sebagai satu-satunya penamaan untuk perjanjian bilateral yang bersifat teknis. Pembakuan ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman bagi delegasi Indonesia dalam penggunaan penamaan perjanjian bilateral, mengingat seringnya diajukan pertanyaan mengenai nomenklatur yang tepat, disamping sering digunakan penamaan perjanjian karena "selera". Begitu pula kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan oleh negara-negara anggota ASEAN biasa menggunakan penamaan Agreement seperti Agreement on Common Effective Preferential Tariff Scheme of the ASEAN Free Trade Area atau Agreement on ASEAN Energy Cooperation, dan sebagainya.
 
- Memoranda Kesepakatan (MoU) atau Memorandum Saling Pengertian : digunakan untuk perjanjian yang bersifat teknis sebagai pelaksanaan dari suatu persetujuan payung. Dalam praktek, MoU sering dilakukan oleh instansi-instansi pemerintah atau LSM lainnya tanpa didasarkan pada perjanjian payungnya. Artinya MoU tersebut berdiri sendiri atau merupakan perjanjian dasar dari kerjasama atau kegiatan yang diperjanjikan.  Dalam hal ini suatu perjanjian MoU dibuat tanpa mengacu kepada perjanjian payungnya, Pemerintah tidak bertanggung jawab atas akibat hukum yang ditimbulkan dari MoU tersebut.  Oleh karenanya, setiap instansi Pemerintah yang hendak mengadakan perjanjian dengan negara lain, harus merupakan pelaksanaan dari persetujuan payungnya agar tidak dianggap sebagai perjanjian "terselubung".  Terlebih dengan telah diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, hal-hal semacam ini harus benar-benar dipahami karena masih banyak terdapat ketidakmengertian dari pejabat di daerah tentang hak dan kewajibannya dalam membuat perjanjian dengan negara lain. Pasal 7 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999 dengan tegas mengatur di antaranya bahwa masalah-masalah luar negeri masih dikendalikan oleh Pemerintah Pusat. Terdapat kecenderungan instansi teknis memilih perjanjian dengan pihak asing dalam bentuk MoU, tanpa mengacu pada perjanjian payung. Selain prosesnya cepat, juga untuk menghindari aturan-aturan yang dianggap akan menghambat terealisasinya proyek kerjasama yang disepakati kedua pihak. Sama halnya dengan pihak pemerintah Jepang yang kurang suka dengan proses ratifikasi karena dianggap memakan waktu, serta kekhawatiran akan tersaingi (kehilangan pangsa pasar) oleh teknologi negara lain jika proses peratifikasian terlalu lama. Pandangan yang terakhir ini sebenarnya keliru. Perjanjian payung dibuat untuk menaungi implementing arranggements yang akan dibuat kemudian. Di dalam perjanjian payung akan diatur prinsip-prinsip dasar dan ruang lingkup kerjasama yang akan dilakukan.  Dengan demikian, para pihak yang hendak membuat implementing arranggements tersebut tidak perlu membuat aturan-aturan hukum yang bersifat mendasar. Misalnya hampir disetiap perjanjian IPTEK selalu diatur mengenai lingkup kerjasama dan pengaturan masalah-masalah Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Ketentuan lebih rinci dari masalah-masalah HAKI misalnya, dapat dituangkan ke dalam implementing arranggement-nya.  Disamping itu, bagi pihak yang lebih mengutamakan kepastian hukum terhadap perjanjian yang telah diadakannya, cenderung menggunakan proses ratifikasi atau mendasarkan kepada perjanjian payung karena perjanjian dilakukan dengan sepengetahuan pemerintah. MoU sering digunakan untuk perjanjian-perjanjian kerjasama di bidang IPTEK dan kebudayaan, dan berlaku sejak tanggal penandatanganan (tidak memerlukan proses ratifikasi).
 
- Protokol : digunakan sebagai perubahan pasal tertentu dari suatu Konvensi atau Persetujuan. Protokol ini dapat disamakan atau sejenis dengan Amandemen. Contohnya protokol-protokol yang dikeluarkan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO) yang beberapa di antaranya telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden. Di lain pihak, protokol digunakan juga sebagai pelengkap dari suatu persetujuan payung, misalnya, protokol pada Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.  Terdapat juga suatu perubahan terhadap perjanjian payung dengan menggunakan penamaan protokol,  tetapi jika diperhatikan dari substansinya protokol tersebut lebih merupakan pengaturan khusus (special/separate arrangement) terhadap pasal tertentu dari perjanjian payung. Contoh, Pasal 10 Persetujuan Perdagangan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Ceko yang telah ditandatangani oleh delegasi kedua pihak di Jakarta pada tanggal 23 Mei 1994, mengatur bahwa ketentuan mengenai HAKI akan diatur dalam suatu Protokol yang merupakan bagian yang terpisahkan dari Persetujuan ini.
 
- Piagam : digunakan pada konstitusi PBB (Piagam PBB);
 
- Deklarasi : merupakan dokumen yang menunjukkan sikap masyarakat dunia terhadap masalah tertentu.  Deklarasi ini dapat dijadikan sebagai dasar hukum atau mendasari konstitusi negara-negara yang menerima Deklarasi tersebut walaupun tanpa melalui proses ratifikasi. Contoh: Deklarasi Universal tentang Hak Azasi Manusia yang mendasari hampir seluruh konsitusi negara-negara di dunia. Dapat pula deklarasi merupakan sikap politik luar negeri suatu negara terhadap masalah tertentu, seperti misalnya Deklarasi Bogota yang menyatakan bahwa negara-negara ekuatorial menuntut kedaulatan atas ruang antariksa. Namun demikian,  deklarasi ini harus dibedakan dari deklarasi sebagai pernyataan sikap suatu negara terhadap pasal tertentu dari suatu perjanjian multilateral (Konvensi). Misalnya, deklarasi pemerintah Indonesia terhadap setiap ketentuan penyelesaian sengketa para pihak pada suatu perjanjian internasional melalui Mahkamah Internasional.  
 
- Final Act : biasa digunakan sebagai berita acara dari suatu konferensi internasional (multilateral) yang menghasilkan konvensi. Final act ini dalam beberapa perjanjian internasional yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia, tidak dianggap sebagai bagian dari konvensi yang bersangkutan (tidak perlu diratifikasi).
 
Term of Reference : peristilahan bagi perjanjian-perjanjian multilateral yang digunakan oleh beberapa badan di bawah PBB seperti di bidang Nikel, Tembaga, dan Timah (secara berturut-turut diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 61, 62 dan 63 Tahun 1989).
 
- Pengaturan (Arrangement) : sejenis dengan MoU yang merupakan peraturan atau perjanjian pelaksana persetujuan payung.  Pengaturan ini bersifat teknis dan biasanya berlaku sejak penandatanganan. Pihak dari Pengaturan biasanya instansi teknis tertentu. Perjanjian semacam ini hanya mengikat para pihak yang menandatangani perjanjian. Istilah Pengaturan ini jarang digunakan pada perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah atau instansi pemerintah. Perbedaannya dengan MoU adalah bahwa Pengaturan lebih merupakan pelaksanaan atau pengaturan lebih lanjut pasal tertentu dari suatu perjanjian payung.  

- Pertukaran Nota (Exchange Note) : adalah dokumen perjanjian yang disampaikan oleh satu pihak ke pihak lainnya dalam persetujuan yang memberitahukan bahwa perjanjian yang mereka adakan telah diratifikasi.  Praktek di Indonesia, dokumen semacam ini ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri atau Menteri Koordinator Politik dan keamanan sebagai Menteri Luar Negeri ad interim jika Menteri Luar Negeri tidak dapat menandatanganinya. Pertukaran Nota ini biasanya dilakukan dengan suatu upacara khusus di salah satu negara yang mengadakan persetujuan. Sejenis dengan Pertukaran Nota ini adalah Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh negara yang menjadi pihak pada suatu perjanjian multilateral (Konvensi) kepada Depositari dari Konvensi yang bersangkutan (dalam  hal Konvensi yang dikeluarkan oleh PBB, biasanya Dekretaris Jenderal PBB sebagai depositari). Penggunaan istilah Pertukaran Nota pernah juga digunakan untuk Persetujuan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Mesir mengenai Pembentukan Komite Bersama di Bidang Perdagangan (diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1987) dan Perlindungan Hak Cipta atas Rekaman Suara antara Republik Indonesia dan Masyarakat Eropa (diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1988).  Istilah-istilah lainnya seperti Agreed Minutes, Summary Records, Process Verbal, modus Vivendi dan Letter of Intent jarang digunakan[1] oleh Pemerintah Indonesia dalam praktek pembuatan perjanjian internasional kecuali Letter Intent pernah digunakan pada masa Orde Baru dan Era Reformasi ketika Pemerintah Indonesia melakukan pinjaman uang kepada IMF sebesar US$ 1 milyar dan janji Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi ILO Nomor 105 dan 138 tentang Penghapusan Kerja Paksa dan Usia Minimum untuk Diperbolehkan bekerja. Kedua Letter of Intent  tersebut tidak diratifikasi, tetapi ditandatangani oleh Kepala Negara. 
 
Berkaitan dengan penamaan, digunakan pula dalam praktek istilah-istilah lain yang tidak lazim digunakan seperti Akta (Acts) pada Perhimpunan Pos Sedunia (Universal Postal Union) dan Perhimpunan Telekomunikasi Internasional (International Telecommunication Union).
  
Dari contoh pemilihan penggunaan penamaan perjanjian internasional di atas, terdapat beberapa catatan sebagai berikut : 
a. Law of Treaties, 1969 tidak membatasi para pihak dalam perjanjian untuk menggunakan penamaan tertentu untuk perjanjian tertentu; 
b. Tidak harus suatu perjanjian yang menggunakan penamaan tertentu memiliki bobot yang lebih penting daripada penamaan lainnya; 
c. Penamaan yang digunakan tidak menentukan bentuk peratifikasiannya (Undang-undang/Keppres).  Penetapan penggunaan bentuk Undang-undang/Keputusan Presiden tergantung dari substansi yang diatur di dalam perjanjian.
 


[1] J.G Starke di dalam buku Pengantar Hukum Internasional mendefinisikan Proses Verbal sebagai rangkuman dari jalannya serta kesimpulan dari suatu konferensi diplomatik.  Namun demikian, pengertian tersebut pada saat ini diartikan juga sebagai catatan-catatan istilah dari suatu persetujuan yang dicapai oleh para peserta.  Sedangkan Modus Vivendi adalah suatu dokumen untuk mencatat persetujuan internasional yang bersifat temporer atau provisional yang dimaksudkan untuk diganti dengan arrangement yang sifatnya lebih permanen dan rinci. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar